![]() |
| Adegan dalam 'The Men Comes Around' karya Adih Saputra (Yogyakarta) |
Selanjutnya, Dewan Juri akan menyeleksi lagi film-film hasil
kurasi tersebut tersebut untuk memilih lima film unggulan. Satu dari ke-lima
film unggulan tersebut nantinya akan dinobatkan sebagai film terbaik Denpasar
Film Festival 2013 yang berhak memboyong Trophy DFF beserta uang tunai sebesar
20 juta rupiah.
Adapun ke 12 film terpilih tersebut berturut-turut
berdasarkan abjad adalah: Amelia karya Sigit
Purwono (Denpasar), Danau
Gulma
karya I Putu Oka
Sudarsana (Denpasar), Di
Balik Topeng Bondres karya Putu Satria Kusuma (Buleleng), Di Batas Kekuasaan karya Nur
Fitriah Napiz (Jakarta), Macaca Fascicularis - Di Balik Tabir
Monyet Ekor
Panjang karya Vicky Hendri Kurniawan (Banyuwangi), Orang
Laut
karya Nur Handoyo (Jakarta), Penutur Terakhir karya Aditya
Heru Wardhana (Jakarta), Persona karya George
Arif (Jakarta), Pulo Aceh; Surga Yang Terabaikan karya R.A.
Karamullah (Banda Aceh), Ragat’e Anak
karya Ucu
Agustin (Jakarta), Risalah
Van Der Tuuk karya Irwan Wahyudi (Lampung), dan The
Man Comes Around karya Adih Saputra (Tangerang).
Film “Amelia” berdurasi 27 menit karya Sigit Purwono (Denpasar) mengangkat kisah nyata
dua bayi kembar siam yang dilahirkan dari pasangan miskin, Ketut Suardana dan Nyoman
Sukerini, asal desa Busung Biu, Buleleng, Bali. Kedua
bayi kembar ini mengalami dempet di bagian perut dan dada. Satu bayi menderita
hidrocepalus dan kelainan jantung.
Seseaat setelah melahirkan bayinya, kedua orang
tuanya sempat tidak boleh melihat si bayi kembar karena
mereka tengah dirawat dalam ruangan steril. Bayi
kembar siam ini terpaksa harus dipisahkan dengan karena
kondisi salah satu bayi sudah sangat kritis. Akhirnya satu bayi dapat
diselamatkan, sementara kembarannya meninggal dunia.
Film “Danau Gulma” produksi Traxvideo, Denpasar, garapan I Putu Oka
Sudarsana dan Agus Wiranata mengangkat peran Danau Batur yang sangat
strategis di Bali karena menjadi sumber daya air untuk beberapa kabupaten
seperti Buleleng Timur, Karangasem, Bangli, Klungkung, dan Gianyar.
Permasalahan saat ini, di sekitar Danau
Batur berkembang pesat Eceng Gondok yang dapat mengakibatkan meningkatnya
evapotranspirasi (penguapan dan hilangnya air melalui daun-daun tanaman) karena
daun-daun eceng gondok yang lebar dan serta pertumbuhannya yang cepat; menurunnya
jumlah cahaya yang masuk ke dalam
perairan sehingga menyebabkan menurunnya
tingkat kelarutan oksigen dalam air; serta
pendangkalan danau akibat mengendapnya batang eceng gondok yang sudah mati ke dasar danau.
Film “Di Balik Topeng Bondres” karya Putu Satria Kusuma mengetengahkan
perjalanan grup topeng bondres terkenal, Sanggar Dwi Mekar, yang dipimpin oleh Nyoman
Durpa. Grup ini begtu popular di Bali sehingga dalam sehari mereka bisa berpentas
sampai dua atau tiga kali. Ada hal yang mencemaskan dari populernya topeng bondres
ini yakni punahnya Topeng Panca yang
merupakan dasar pijak dari topeng bondres sendiri.
“Di Batas Kekuasaan” berdurasi 40 menit. Film karya Nur Fitriah Napiz
ini bercerita tentang tiga warga Jakarta yang memiliki hak pilih dengan
latar belakang berbeda dalam menyikapi pemilukada DKI Jakarta 2012.
Masing-masing berargumen bahwa pilihan mereka adalah yang terbaik dalam pesta
demokrasi ini.
“Macaca Fascicularis - di Balik Tabir Monyet
Ekor Panjang” karya Vicky Hendri Kurniawan bertutur tentang monyet ekor panjang
adalah hewan yang sangat dekat dengan kehidupan manusia, karena hewan ini
sangat pandai beradaptasi. Monyet ekor panjang dapat hidup di berbagai daerah,
mulai dataran tinggi hingga dataran rendah. Banyak sekali fungsi monyet
terhadap keseimbangan alam, bahkan terhadap kehidupan manusia, tapi sayangnya
banyak manusia yang tidak mengerti betapa pentingnya monyet ekor panjang.
Film ini seperti mengeluhkan tidak adanya
undang-undang yang melindungi monyet ekor panjang dan minimnya pengetahuan
masyarakat Indonesia tentang fungsi monyet ekor panjang membuat keberadaan
monyet ekor panjang semakin terancam oleh aktivitas manusia.
“Orang Laut” karya Nur Handoyo mengangkat
kisah Suku Bajo di Wakatobi Sulawesi Tengah yang bermukim di lautan. Mereka
adalah nelayan-nelayan yang tangguh. Mampu menyelam bermenit-menit tanpa alat
bantu. Bayi Bajo lahir, ada ritual memandikan bayi dengan air laut dan melarung
tali pusar ke laut. Laut adalah sahabat dan ibu pertiwi yang memberi kehidupan.
Nur Handoyo menuturkan kisah tersebut
dengan mengikuti keseharian seorang warga Bajo bernama Tadi, 62 tahun, yang tinggal di atas rumah panggung di selat
Hoga. Pekerjaan Tadi adalah menombak ikan. Setiap hari, dengan sampan kecil Tadi dan
anaknya, La Uda, mengarungi lautan. Keduanya sangat cekatan menghadapi lautan.
Bahkan. La Uda sanggup menyelam dan menombak ikan tanpa alat bantu apa pun.
Sementara istri Tadi adalah seorang sandro atau dukun suku Bajo yang membantu
ritual memandikan bayi di laut. Dulu suku Bajo punya tradisi melemparkan bayi
yang baru lahir ke laut. Tapi kini tradisi tersebut sudah berubah. Bayi cukup
dimandikan dengan air laut.
“Penutur Terakhir” karya Aditya Heru Wardhana mengisahkan tentang
seorang gadis yang berusaha mendokumentasikan kosa kata bahasa Ibo, salah satu
bahasa daerah di Maluku Utara, yang
terancam punah.
Dengan segala daya upaya, di tengah
berbagai keterbatasan, Si Gadis berupaya menyelamatkan salah satu gentong
budaya yang menyimpan arti, makna, kearifan lokal, tata cara bertani dan
berbagai warisan seni budaya para pengguna bahasa Ibo. Bila bahasa ini punah,
maka segala macam tradisi kebudayaan yang berkait dengan bahasa tersebut pun
akan lampus.
Saat ini hanya tersisi empat orang penutur
Bahasa Ibo. Mereka semua berusia di atas 60 tahun. Bila mereka meninggal maka
bahasa Ibo pun lenyap dari muka bumi.
“Persona” karya George Arif berkisah tentang Rita, seorang
aktris teater senior di Teater Koma,
Jakarta. Film ini mengikuti kehidupan Rita, di panggung dan di luar panggung
selama enam tahun, sejak tahun 2006.
“Pulo Aceh; Surga yang Terabaikan”
berdurasi 27 menit. Film dokumenter
karya R.A. Karamullah dan M.
Hamzah Hasballah ini mengisahkan tentang
ironi sebuah kampung indah di perairan Samudera Hindia di wilayah Nangroe Aceh
Darrussalam. Di kampung yang cantik itu sarana pendidikan dan kesehatan sangat
memprihatinkan. Juga hal-hal lainnya yang menyakup kepentingan hidup masyarakat
setempat. Hidup dengan segala kesulitan, cukup menempatkan Meulingge, Kecamatan
Pulo Aceh; Surga yang Terabaikan.
“Ragat'e Anak” karya Ucu Agustin
menuturkan kisah Nur dan Mira yang berjuang untuk memberi masa depan yang lebih
baik untuk anak-anak mereka. Keduanya bekerja sebagai pemecah batu. Namun,
penghasilan dari pekerjaan yang mereka lakukan sepanjang siang itu tak cukup
untuk membiaya hidup mereka, maka pada malam hari keduanya bekerja sebagai
pekerja seks komersial di sebuah area prostitusi liar di Kuburan Cina, Gunung Bolo.
“The Man Comes Around” karya Adih Saputra menuturkan tentang Anti Tank,
sebuah kelompok warga Yogyakarta yang menekuni street art sebagai ekspresi dari kepedulian mereka pada negaranya.
Anti Tank sangat gencar mengutarakan
opininya mengkritik Pemerintah dengan menempatkan poster-poster mereka di ruang-ruang
publik. Mereka tak gentar menghadapi berbagai hambatan, berupa ancaman dan
intimidasi.
“Risalah Van der Tuuk” karya Irwan Wahyudi
berkisah tentang upaya penyelamatan bahasa-bahasa Nusantara yang seyogyanya
dilakukan untuk kepentingan bahasa-bahasa itu sendiri, sebagaimana dipesankan
dalam surat H.N. van der Tuuk kepada
P.J. Veth, 14 April 1867.
Seperti telah banyak diberitakan, para
Kurator Denpasar Film Festival 2013 adalah Erick Est, Soma Helmi, dan Putu Kusuma Wijaya. Mereka adalah
sineas-sineas muda yang memiliki reputasi internasional. Sedangkan Dewan Juri
terdiri dari Dr. Lawrence Blair, Slamet Rahardjo Djarot, Rio Helmi, Prof. Dr. I
Made Bandem, dan I Wayan Juniarta.
Catatan
Putu Kusuma Wijaya
Kurator Denpasar
Film Festival 2013
Selama seminggu lebih menyaksikan film-film
peserta festival film dokumenter Denpasar 2013, maka ada sebuah kenyataan yang
muncul. Indonesia
mempunyai banyak sekali ide-ide mencengangkan yang bisa diangkat sebagai ide
menarik dari sebuah film dokumenter. Dalam kurun waktu satu minggu, saya
diajak berjalan-jalan ke ujung paling luar pulau Sumatera, dipaparkan
masalah-masalah yang ada di daerah itu, kemudian saya diperkenalkan dengan anak
di pulau Nias yang ingin sekolah, sampai masuk ke pedalaman pulau Irian untuk
bertemu dengan anak-anak Papua yang kekurangan kelas belajar. Ide-ide film
dokumenter yang ikut serta dalam festival 2013 ini, kalau boleh mengacungkan
jempol, adalah ide-ide kelas dunia. Untung saya bukan Juri Festival, karena
saya yakin dewan juri tahun ini akan dibuat pusing menentukan yang terbaik.
Panitia harus siap-siap untuk menyediakan snack dan minuman lebih banyak lagi.
Sebagai kurator saja, saya mengalami kesulitan untuk menentukan film terakhir
yang akan masuk ke dalam sepuluh besar. Ada beberapa film yang tidak saya bisa
nilai lagi mana yang layak. Ini menandakan begitu ketatnya persaingan festival
kali ini.
Yang memang perlu digarisbawahi di sini, sebuah ide yang bagus tentu
tidak menjamin akan menjadi film yang berhasil. Di sinilah letak kendala
dari kebanyakan peserta. Mereka
tidak tahu harus berdiri di sisi mana? Sebuah film dokumenter bukan saja
sebuah laporan perjalanan, bukan saja sebuah reportase, atau memberitahu
keunikan sebuah tempat. Film dokumenter sama halnya dengan fiksi akan menarik jika itu tentang manusia.
Karakter. Dari seorang karakter inilah lalu pentonon akan digiring
mengetahui keunikan sebuah tempat. Hanyut dalam perjuangan seorang untuk
menegakkan keadilan, kesewenang wenangan dan bagaimana karakter ini berkonflik.
Sebuah film dokumenter yang berhasil apabila di dalamnya ada sebuah konflik.
Memang sulit mencari itu. Untuk itulah film dokumenter tidak bisa dibuat hanya dalam satu hari,
seminggu bahkan sebulan. Akan jelas terlihat, di dalam film berapa lama sang
pembuat menyelesaikan tayangannya.
Makin mudahnya mendapatkan kamera dengan
harga terjangkau membuat kita makin mudah membuat shot. Era digital membuat
kita tidak teliti membuat shot. Tidak bagus dihapus. Banyak dari peserta yang
melakukan setting otomatis dalam shot nya. Ini tentu kesannya amatir. Film
dokumenter juga harus mempunyai bahasa sinema. Bahasa gambar yang berbicara. Tidak lagi dikuti dengan
narasi yang membabi buta, yang membunuh nilai sinema yang ditampilkan.
Ini tentu karena kebanyakan dari para pserta adalah pembuat film otodidak yang
terpengaruhi oleh tayangan dokumenter televisi yang memang narasinya
berlebihan. Ini menyebalkan sekali. “Buatlah penonton anda lebih pintar dari
anda” Kemudian ada sebuah kalimat yang juga harus disikapi “Jangan memberitahu,
tapi tunjukkan”
Karena beberapa film dokumenter dibuat
dalam sebuah dead line tertentu, maka kecenderungan dari semua peserta adalah
dengan wawancara. Sehingga yang penonton dapatkan hanyalah sebuah
pemberitahuan. Akan lain hasilnya jika, yang dilakukan oleh si pembuat sebuah
adegan. Di sinilah kemudian muncul bahasa-bahasa sinema.
Denpasar Film Festival adalah sebuah wadah
yang begitu menjanjikan bagi perkembangan dunia film dokumenter Nasional. Dari
penyelenggaraan tahun ini, mudah-mudahan festival ini bisa berkembang menjadi
film dokumenter Internasional. Bagi para pembuat yang gigih, sudah saatnya
untuk memulai dari sekarang untuk membuat film sehingga tahun depan akan
menghidangkan karya-karya yang makin dalam dan sanggup berbicara lebih luas
lagi. Bahasa gambar adalah bahasa Internasional. Jika kita bisa tertawa,
menangis karena tayangan yang kita buat, orang di belahan manapun akan
melakukan hal yang sama. Ini karena hati kita terbuat dari bahan yang sama dan
ada darah yang mengalir di dalamnya. Sebagai seorang kurator, sungguh saya
dibuat tidak bisa tidur menentukan mana yang layak diserahkan kepada dewan
juri. Bagi panitia, percaya atau tidak perdebatan dewa juri kali ini akan sengit
sekali, siapa-siap untuk melerai mereka. (Buleleng, Juli 2013).
