Kau tak akan bisa lari dari tanggungjawab pada hari
esok
dengan menghindarinya pada hari ini
~ Abraham Lincoln
Upacara pada 15-16
November 2011 ini hanya dilaksanakan sekali saja sepanjang masa. Sebab ini
bukanlah ritual berulang sebagaimana hampir seluruh upacara di Bali. Upacara ini adalah pelunasan janji dari seseorang yang sudah terlampaui waktu lebih
dari empat abad lamanya.
Adalah Ki Anglurah Panji Sakti, penguasa Kawasan Bali
Utara, pencetus janji itu. Raja yang juga berjuluk Ki Barak itu sangat digdaya
sehingga ia masyur hingga ke seluruh pelosok Bali Dwipa. Dan, sebagaimana kebanyakan kaum digdaya, ia
memiliki ambisi yang meletup-letup untuk selalu meluaskan daerah
kekuasaan. Setiap ada kesempatan untuk
itu, Ki Barak segera melaksanakannya. Termasuk menyerbu Desa Batur pada tahun 1600-an.
Untuk menyerbu Batur,
meski
memiliki semua sumber daya untuk menang dalam pertempuran berhadap-hadapan, Ki
Barak memilih jalan mudah dan murah: mengalahkan musuh di saat lengah. Ki Barak menyerbu selagi masyarakat desa itu sibuk membantu Kerajaan
Bangli berperang melawan Kerajaan Gianyar. Namun, di luar dugaan, begitu memasuki desa yang hanya dihuni oleh
perempuan, anak-anak dan orang tua itu, sebuah kentongan bertalu-talu
memekakkan telinga Ki Barak. Padahal tak seorang pun tampak memukulnya.
Rupanya kentongan itu
adalah kentongan keramat yang konon selalu beraksi di saat marabahaya tiba. Terusik,
Ki Barak membakar dan mengencingi kentongan itu. Tak ia sangka bahwa Dewi Batur-lah pemberi berkat pada kentongan
itu. Maka kutuk Sang Dewi pun menghujam diri dan seluruh prajurit Ki Barak.
Bahkan hingga ke sanak-kadang mereka di Singaraja. Semua tertimpa wabah tak
terperi…
Setelah segala daya
upaya tak berhasil melindungi kerajaannya dari wabah, Ki Barak
pun berkaul. Ucapnya, “Wahai
Leluhur yang bersemayam di Desa Batur, jika bisa kami hidup damai kembali, saat
itu aku akan menghaturkan kulkul (kentongan)
emas untuk mengganti kulkul yang telah
aku bakar, dua patung singa sebagai wujud manifestasi para leluhur. Aku pun
akan menghaturkan tuak-brem yang akan dituang sepanjang jalan dari
kerajaan Sukasada hingga Desa Batur. Yang
ketiga, aku akan menghaturkan kasa petak
(kain putih) kepada Gunung Batur. Akan aku lingkari Gunung Batur dengan kain
putih itu tanpa putus.”
Entah bagaimana,
hingga ajal menjemputnya, Ki Barak tak kunjung menepati janjinya. Dan, ingatan
kolektif yang terus-menerus diturunkan menyuat setelah empat abad berlalu. Penebusan janji yang nyaris musykil itu baru terlaksana
ketika Pemerintah Kabupaten Buleleng mengulurkan bantuan. Maka kain putih pun dibentang selingkaran perut
Gunung Batur, tuak dan berem pun di kucurkan di sepanjang jalan
dari sejak Puri Sukasada di Singaraja hingga Pura Batur di Kintamani, kentongan
emas dan kerbau “bertanduk emas” pun
dipersembahkan.
Dalam
pelaksanaannya, masyarakat Batur membantu penyelenggaraan ritual bayar kaul itu. Membawa ratusan rol kain putih, mereka
membagi diri dalam beberapa kelompok dan menuju titik pendakian berbeda-beda.
Bergotong-royong, masing-masing berupaya agar kain-kain putih yang mereka bawa
tersambung antara rol yang satu dengan rol yang lain dan menjadi lingkaran yang
utuh meliliti Gunung Batur.
Sangat besar utang
yang dibuat Ki Barak Panji Sakti. Utang,
jika tak terbayar, terus memburu seperti kutukan. Ia terus melaju mencari jalan pelunasan walau
harus menyeberangi bentangan waktu hingga berabad-abad lamanya…