Ritual, menurut beberapa pakar, adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan untuk mencari jalan keselamatan bagi pelakunya. Nyaris semua ritual dilumuri keyakinan mitis dan gaib, sekaligus peka dalam menimbang unsur estetika sehingga ia tumbuh menjadi semacam teater yang kaya warna dan memancing munculnya simbol-simbol. Ketika semua itu bergabung menjadi satu, ritual pun berpotensi melahirkan kejutan-kejutan visual dan teaterikal.
Sebagai orang yang
hidup di tengah masyarakat yang kaya dengan ritual, empat orang fotografer yang
tergabung Project 88, berupaya menangkap momen-momen penting dari berbagai
aktivitas ritual dan membingkainya dalam realitas baru yang masing-masing
terdiri dari delapan adegan. Semua tangkapan itu kemudian mereka suguhkan dalam
pameran foto esai bertajuk “Ritual” di Danes Art Veranda, Jl. Hayam Wuruk,
Denpasar, sejak 19-25 Agustus 2014. Adapun keempat fotografer tersebut adalah
Anggara Mahendra, Jeje Prima Wardani, Johanes P. Christo, dan Syafiudin Vifick.
Pameran ini
merupakan bagian dari ajang Denpasar Film Festival (DFF) 2014 yang tahun ini
dilakngsungkan untuk ke-lima kalinya. Dan, tema “ritual” dari pameran ini, merupakan
respons dari keempat fotografer di atas terhadap tema besar dari DFF 2014.
“Kami memilih
beberapa tema yang relevan dan kontekstual dengan DFF. Tapi setelah melakukan
diskusi intens, akhirnya kami menyepakati untuk mengangkat tema ini,” ujar Johannes P. Christo yang diamini oleh ketiga
temannya.
Menurut Christo, selain dekat dengan tema DFF, tema tersebut relatif jarang diangkat dalam sebuah pameran bersama yang saling memberi komparasi, tidak saja dalam hal estetika tetapi juga pada kandungan informasinya.
Dari Usaba hingga Wetu Telu
Dalam pameran ini
Anggara Mahendra menampilkan foto-foto ritual Usaba Sambah yang dilakukan
oleh masyarakat Desa Subaya,
Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, setahun sekali. Dalam usaba tersebut masyarakat
mendirikan sanggah ayunan setinggi
20 meter dilengkapi persembahan hasil panen yang diletakkan di sisi kiri-kanan
ayunan untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Mas agar Sang Ratu melimpahkan
kesejahteraan dan keselamatan pada masyarakat setempat.
Jeje Prima Wardani
menampilkan hasil jepretannya tentang upacara pembayaran kaul yang pernah
diucapkan oleh Ki Anglurah Panji Sakti 4 ribu tahun yang
lalu. Kaul tersebut berupa janji
mempersembahkan kentongan emas, dua buah
patung singa sebagai wujud manifestasi para leluhur, tuak berem yang dituang di sepanjang jalan dari Sukasada
hingga Desa Batur, serta kain putih yang dililitkan tanpa putus mengitari Gunung
Batur.
Johannes P.
Christo menmapilkan foto-foto tentang prosesi
Rori Lako, yakni perburuan ke tengah hutan selama beberapa hari yang dilakukan
oleh masyarakat suku Ngada desa Lo’a Flores. Ritual perburuan ini merupakan wujud penghormatan kepada Dewa
Langit dan Ibu Bumi yang memberikan kehidupan dan kesejahteraan. Dalam ritual tersebut masyarakat merenungi kembali dari mana mereka
dilahirkan, bagaimana mereka bertahan
hidup, dan akan kemana mereka kelak.
Sedangan Syfiudin
Vifick menampilkan foto-fotonya tentang ritual
yang Masyarakat Adat Wetu Telu dalam menyelenggarakan Lebaran Adat. Lebaran Adat adalah perayaan
hari terbesar masyarakat Muslim setempat selain Hari Idul Fitri.
Ritual Lebaran
Adat dipusatkan di masjid Bayan Beleq, sebuah masjid kuno berukuran 9x9
meter persegi yang terbuat dari kayu dan
bambu. Ritual diwakilkan kepada 44 kyai adat Wetu Telu yang membacakan AlQuran kuno tulisan tangan leluhur
mereka. 44 orang kyai adat Wetu Telu itu, terdiri dari empat orang kyai kagungan (ulama besar) dan 40 orang
kyai santri.
Tentang Project 88
Project 88 adalah sebuah upaya lebih
mendekatkan fotografi dengan film dokumenter. Upaya ini dilatari oleh kerapnya
terjadi hambatan pada para peminat pemula yang ingin membuat film dokumenter.
Diperlukannya beberapa prasyarat dalam produksi film dokumenter membuat para
pemula tak dapat membuat karya dalam langkah yang terstruktur secara benar,
khususnya pada produksi pertama mereka. Kerap kali hal ini menjadi pematah
semangat yang ampuh bagi para pendatang baru itu.
Berangkat dari
kenyataan itu, Denpasar Film Festival
mengajak beberapa fotografer muda
berbakat di Bali yakni Anggara Mahendra, Johannes P. Christo, Prima
Wardani, dan Syafi’udin,
untuk
mengatasi kendala itu. Dari
sinergi tersebut lahirlah konsep Project 88 yakni sebuah esai mengenai sebuah
isu, situasi, atau keadaan yang dituturkan dengan delapan foto dilengkapi teks
sebanyak delapan alenia. Bagi pemula,
konsep ini boleh dikata merupakan tahapan langkah yang lebih mudah menuju
produksi film dokumenter. Bagi
profesional, konsep ini merupakan alternatif bertutur yang memberi ruang yang
seimbang antara gambar dan narasi (teks).



