Kabut pagi tipis masih menyelimuti
Gunung Abulobo ketika para lelaki mulai bergegas mengambil tombak dan parang. Berbalut
pakaian adat dan kaki beralas sepatu kets, mereka berjalan menelusuri padang
ilalang sambil mendengarkan gonggongan anjing yang mencari buruan.
Mereka adalah warga suku Ngada di Desa Lo'a, Flores yang sedang melakukan ritual berburu hewan liar atau disebut Rori Lako. Selama tiga hari mereka harus bermalam di Loka, sebuah lembah kecil dan rindang, yang dipercaya sebagai tempat leluhur mereka dahulu tinggal untuk berburu. Perlu berjam-jam untuk sampai kesana dengan berjalan kaki.
Sebagian warga yang menunggang kuda menyisir areal perburuan mencari babi hutan dan rusa. Hanya bagian kepala yang dipersembahkan dalam ritual, suatu kehormatan bagi mereka apabila mendapat kepala rusa. Sedangkan bagian tubuh yang lain dimasak di Loka oleh para wanita untuk bekal mereka selama menginap.
Mereka adalah warga suku Ngada di Desa Lo'a, Flores yang sedang melakukan ritual berburu hewan liar atau disebut Rori Lako. Selama tiga hari mereka harus bermalam di Loka, sebuah lembah kecil dan rindang, yang dipercaya sebagai tempat leluhur mereka dahulu tinggal untuk berburu. Perlu berjam-jam untuk sampai kesana dengan berjalan kaki.
Sebagian warga yang menunggang kuda menyisir areal perburuan mencari babi hutan dan rusa. Hanya bagian kepala yang dipersembahkan dalam ritual, suatu kehormatan bagi mereka apabila mendapat kepala rusa. Sedangkan bagian tubuh yang lain dimasak di Loka oleh para wanita untuk bekal mereka selama menginap.
Setiba di desa, para wanita
mengusung kepala babi hutan dan rusa untuk diarak keliling kampung sebelum pada
malam harinya dimasak untuk dinikmati semua warga desa. Sambil membawa sebilah
parang mereka bernyanyi, bersukacita dan bersyukur atas berkah yang dilimpahkan
oleh Dewa Zeta-Nitu Zale.
Layaknya kebudayaan lain yang mempunyai pandangan tersendiri tentang Yang Ilahi, masyarakat Ngada pun memiliki pandangan yang khas tentang Yang Ilahi. Ajaran utama masyarakat Ngada yang terdapat dalam su’i uwi mengatakan bahwa mereka berasal dari tempat yang tidak diketahui namanya, tempat yang gelap gulita. Dari tempat ini, mereka dipimpin dan dibimbing oleh Sumber Terang. Selanjutnya, mereka berlayar ke tempat baru dengan tuntunan Sumber Terang tadi hingga tiba ke tempat tujuan.
Layaknya kebudayaan lain yang mempunyai pandangan tersendiri tentang Yang Ilahi, masyarakat Ngada pun memiliki pandangan yang khas tentang Yang Ilahi. Ajaran utama masyarakat Ngada yang terdapat dalam su’i uwi mengatakan bahwa mereka berasal dari tempat yang tidak diketahui namanya, tempat yang gelap gulita. Dari tempat ini, mereka dipimpin dan dibimbing oleh Sumber Terang. Selanjutnya, mereka berlayar ke tempat baru dengan tuntunan Sumber Terang tadi hingga tiba ke tempat tujuan.
Dewa Zeta-Nitu Zale bagi masyarakat
Ngada adalah sebutan bagi Yang
Ilahi. Keduanya adalah benih dari
maskulinitas dan feminitas yang menjadi cikal-bakal dari semua kelahiran di
bumi. Meski Dewa Zeta -Nitu Zale terdiri
dari empat kata, namun seluruhnya mengandung satu makna yang utuh menyeluruh: kekuatan
ilahi yang maha tinggi.
Begitulah, walau telah memeluk
Katholik, ritual Rori Lako yang berulang setiap tahun setahun itu tetap dipertahankan masyarakat Ngada.
Ritual tersebut merupakan wujud kecintaan
dan penghormatan mereka terhadap leluhur yang Bapak bertahta di langit (Dewa Zeta) dan Ibu
yang bersemayam di bumi (Nitu Zale) .
Untuk menjamin relasi persona
dengan Yang Ilahi, masyarakat mengharuskan kesucian hidup. Maka jelaslah loka
oja sebagai simbol tempat ilahi, tempat
pilihan, tempat yang suci yang dapat diartikan pula sebagai simbol hati nurani
manusia.
PS: Foto-foto ini juga
dipersembahkan kepada sang penulis Katherine Demopoulos, yang ikut mencatat
ritual ini untuk bukunya. Namun, sekarang ia sakit keras dan terbaring di
sebuah rumah sakit di Inggris.