“Mengucapkan terima kasih bukan sekedar sikap yang baik, tapi
spiritualitas yang baik.”
~ Alfred Painter
~ Alfred Painter
Hujan, angin kencang, dan petir selalu menandai kedatangan Sasih
Kapitu, bulan ketujuh dalam penanggalan
Bali. Di bulan ini masyarakat Desa
Subaya, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli mengadakan Usaba Sambah sebagai kelanjutan Usaba
Desa yang dilakukan di awal bulan yang sama. “Sambah” berarti ayunan, dan pada upacara ini sebuah ayunan setinggi sekitar 20 meter dipancangkan
di Pura Bale Agung. Di situlah nantinya,
setelah diupacarai, masyarakat setempat bebas berayun merasakan sensasi magis
yang sulit temui di tempat lain.
Ketut Suar, Perbekel Desa
Subaya memaparkan kisah turun-temurun ritual ini. Katanya, Usaba Sambah adalah upacara persembahan
bagi Ratu Ayu Mas Subandar yang berstana di Pura Pengubengan. Beliau adalah putri
bungsu Bhatara yang berstana di Pura
Puncak Penulisan. Oleh Bhatara, putri kesayangannya ini diberi tugas
membagi-bagikan lahan kepada masyarakat di sekitar Puncak Penulisan. Setelah tugas
itu tuntas, Bhatara menghadiahi Ratu Ayu Mas seluruh lahan yang tersisa.
Bukannya bersuka, Ratu Ayu Mas justru bersedih menerima hadiah itu.
Pasalnya, areal lahan yang diberikan
untuknya berada di daerah berbatu dan sulit dijangkau, yaitu di Subaya. Untuk menyenangkan
Ratu Ayu Mas yang gundah, masyarakat bergotong-royong membuat sanggah
berupa ayunan yang di sisi kiri-kanannya dilengkapi persembahan hasil panen. Bagi mereka, jika Ratu Ayu Mas bungah, mereka pun akan dilimpahi berkah keselamatan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan.
Ayunan berukuran raksasa itu dirancang sedemikian rupa. Tak ada sebatang pun paku pun pada konstruksinya. Alih-alih
tali plastik, semuanya terbuat dari bahan alam:
bambu petung berdiameter 13cm untuk tiang-tiang pancang, rotan titikan untuk tali pengikat, dan kayu Dadap
untuk dudukan. Semua didapat dari kawasan desa setempat. Konon, rotan
titikan hanya terdapat yang hanya terdapat di kawasan Sungai Samuh yang
merupakan tempat suci Ratu Sakti sebelum beliau berstana di Pura Puseh Desa
Subaya.
Upacara usaba dimulai dengan
ritual jalan kaki seluruh warga dari pusat desa menuju sebuah pura bernama Pura
Pengubengan. Menembus kabut tebal bukit Kintamani, warga desa berjalan
beriringan. Sebagian membawa panji aneka warna, sebagian memainkan gamelan, sebagian lagi mengusung sesajian.
Semuanya terasa akrab meningkahi guyuran
hujan, embusan angin, dan sambaran kilat.
Sesampai di Pura, Jero Bayan memimpin upacara penjemputan Ratu Ayu
Mas Subandar. Upacara berlangsung hingga malam. Tari Rejang dan beragam tari baris
kuno seperti Baris Truna, Baris Dadap,
Baris Jojor, Baris Presi, dan Baris Tombak, silih berganti meningkahi jalannya
upacara.
Upacara hari berikutnya adalah puncak acara. Sejak pagi warga sibuk
menyiapkan perlengkapan upacara, memilih hasil panen dan mengikatnya pada tali ayunan,
serta membuat ratusan gebogan yakni sesaji buah-buahan yang disusun
di atas dulang. Setelah semua beres, Jero Kabayan membersihkan dudukan ayunan.
Dihiasnya dengan beberapa lembar daun pisang.
Di atasnya, beberapa jumput beras ia tuang dan ia susul dengan
meletakkan sarana upacara lainnya. Secara
keseluruhan, upacara hari itu tampak seperti
lomba mempersembahkan hasil panen.
Lomba mengungkapkan rasa syukur untuk hidup baik yang telah mereka cecap dan reguk.
Setelah cecagkriman, yakni acara berbalas
pantun antar pemuda dan pemudi desa, ritual usaba dilanjutkan dengan doa mengucap syukur
dan doa memohon ampunan. Semuanya diucapkan bukan dalam Bahasa Sansekerta atau
Jawa Kuno, tetapi dalam kalimat sehari-hari. Begitulah kaum Bali Aga, mereka berkomunikasi dengan
Sang Pencipta sebagaimana bercakap-cakap
dengan tetangga sebelah rumah.
Pukul dua dini hari upacara berakhir. Sebagian
warga pulang ke rumah. Sebagian lagi bertahan menunggu Jero Kabayan dan
Mangku Alit – dua orang yang mereka sucikan— menaiki ayunan. Begitu keduanya
usai, warga pun bergiliran menaiki ayunan, sebuah keriaan yang sulit didapat
tandingannya. Dan itu berlangsung hingga
hari berganti.