Catatan Juri Denpasar Film Festival 2015

Secara umum kualitas karya-karya yang dinilai pada DFF 2015 ini menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan karya-karya yang dinilai pada DFF 2014.

Penurunan paling tampak pada kemampuan para pembuat film dalam menerjemahkan ide-ide serta argumentasi utama mereka ke dalam bahasa visual yang tidak hanya memukau mata tetapi juga meyakinkan pikiran para penontonnya.

Suasana Penjurian DFF 2015
Tampak jelas bahwa adage “to show and not to tell” belum mampu dijalankan secara baik oleh para pembuat film ini. Akibatnya film-film mereka kemudian lebih banyak didominasi oleh tuturan verbal para narasumber dan bukannya oleh frame-frame gambar yang berkisah.

Bahkan film yang kemudian terpilih menjadi film terbaik pun menunjukkan kelemahan ini. Ide besar tentang perubahan iklim yang mempengaruhi pola angin dan hujan pada dua kelompok masyarakat yang sangat tergantung pada air—sebuah komunitas nelayan di Jawa dan sebuah komunitas peladang di NTT- tidak mampu ditampilkan sebagai sebuah narasi visual yang meyakinkan.

Meskipun demikian, inilah satu-satunya film yang memiliki narasi yang koheren, perspektif yang menarik, serta titik pijak dan pemihakan yang tegas. Perjuangan dua kelompok perempuan dalam menghadapi perubahan pola cuaca yang mengancam keberlangsungan ekonomi keluarga dan komunitas mereka memberikan film ini nilai tematik yang lebih unggul dibandingkan film-film peserta lainnya.

Satu nilai tambahan bagi film ini adalah keselarasan tematiknya dengan tema besar air dan peradaban yang dicanangkan DFF tahun ini.

Sejumlah film, memang memiliki estetika visual yang memukau mata. Sayangnya, keindahan visual itu berhenti hanya sebagai rangkaian frame indah tanpa alur cerita yang kuat, bahkan terjebak sebagai sebuah paparan pedagogik yang menutup ruang pemaknaan terhadap sejumlah subyek-subyek sinematik penting yang tampak dalam film.

Sekian. Terima kasih.


Dewan Juri



JURI DENPASAR FILM FESTIVAL 2015

Slamet Rahardjo Djarot
Kelahiran Serang, Banten, 21 Januari 1949 ini adalah aktor dan sutradara senior Indonesia. Memulai debut pada  1968,  Slamet sangat piawai memainkan peran sekaligus memancing obrolan. Karena itu ia dipilih menjadi pemeran Ndoro Sintilan dalam acara dialog-komedi politik  Sentilan-Sentilun di sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta yang sudah tayang lebih dari 200 episode.

Sebagai aktor sekaligus sutradara Slamet telah membintangi dan mengarahkan puluhan film  di antaranya: Ranjang Pengantin (1974), Badai Pasti Berlalu (1977), November 1828 (1978), Rembulan dan Matahari (1980), Seputih Hatinya Semerah Bibirnya (1982), Ponirah Terpidana (1983), Kembang Kertas (1985), Kodrat (1986), Kasmaran (1987), Tjoet Nja' Dhien (1988), Langitku Rumahku (1990), Fatamorgana (1992), Anak Hilang (1993), Telegram (2000), Pasir Berbisik (2001),  Putri Gunung Ledang (2004), Banyu Biru (2005), Ruang (2006), Badai Pasti Berlalu (2007), Laskar Pelangi (2008), Sang Pencerah (2010), dan Garuda Superhero (2014). Slamet tercatat meraih tiga Piala Citra Festival Film Indonesia. Dua sebagai Aktor Terbaik, satu lagi sebagai Sutradara Terbaik.

Dr. Lawrence Blair 
Antropolog yang menggeluti film dokumenter sejak awal 1970-an ini  adalah penulis, presenter, dan co-producer dari serial dokumenter televisi  Ring of Fire,  yang menjadi nominee peraih Emmy award (1989). Film ini juga memenangi National Educational Film and Video Festival Silver Apple Awards (1989). Lawrence adalah salah satu tokoh yang banyak memperkenalkan Bali dan Indonesia kepada masyarakat dunia.  Karya film dokumenternya antara lain Ring of Fire: An Indonesian Odyssey (serial lima film dokumenter - 1988), Ring of Fire (1991), Myth, Magic and Monsters (serial empat film dokumenter - 2005),  Bali Island of The Dogs (2009).


Rio Helmi 
Memulai karier sebagai fotografer profesional sejak tahun 1978, kini ia dikenal sebagai “the living legend” dalam dunia fotografi Indonesia. Rio pernah bekerja  sebagai wartawan foto dan penulis pada Sunday Bali Post, Mutiara, dan Tempo. Sebagian besar liputan tersebut berkisar tentang masyarakat terasing yang mulai bersentuhan dengan dunia modern.  Rio beberapa kali terlibat dalam produksi film dokumenter, antara lain Lempad of Bali dan Elephants And Autistic Children.

Sejak 1983  Rio bekerja freelance untuk berbagai majalah regional membuat reportase dan foto di berbagai negara seperti Brunei, Malaysia, Singapore, Thailand, Filipina, India, Mongolia, dan Cambodia. Beberapa buku Rio yang telah terbit antara lain Over Indonesia: Aerial Views of the Archipelago  (ditulis bersama Michael Vatikiotis dan Georg Gerster),  Worshipping Siva and Buddha: The Temple Art of East Java (bersama Marijke J. Klokke,  dan Ann R. Kinney),  Bali Style,  Bali High: Paradise from the Air (bersama  Leonard Lueras), dan  River of gems : a Borneo journal (bersama  Lorne Blair dan Leonard Lueras).

Prof. Dr. I Made Bandem
adalah seorang penari Bali, seniman, penulis, pendidik, dan budayawan.  Bandem belajar tari Bali sejak  usia belia. Dan, dialah penari Bali pertama yang berstudi di luar negeri. Bandem memperoleh gelar master dalam tari dari UCLA, dan gelar PhD dalam etnomusikologi dari Universitas Wesleyan. Keduanya di  Amerika Serikat.  Di Bali, Bandem dikenal sebagai budayawan yang memiliki pandangan luas mengenai pelestarian dan pengembangan kesenian. Bersama dengan Prof Dr Ida Bagus Mantra, Gubernur Bali (1978-1988), Bandem adalah salah satu pendiri dan pendorong Pesta Kesenian Bali, sebuah acara tahunan yang menjadi model untuk pelestarian dan pengembangan seni dan budaya Bali secara menyeluruh.Bandem memiliki kepedulian yang sangat tinggi pada pendokumentasian kebudayaan, khususnya kebudayaan Bali. Puluhan rekaman film dokumenter Bali tempo dulu ada di tangannya.

I Wayan Juniartha 
Cendikia muda yang pernah berkuliah Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar, ini adalah jurnalis yang dikenal sebagai pemikir cemerlang.  Ia adalah koordinator berita  wilayah Bali untuk harian berbahasa Inggris The Jakarta Post. Sebelum itu, Juniartha  sempat selama beberapa tahun menjadi wartawan harian Kompas.

Karena perspektif dan ulasannya yang sangat baik, Juniartha kerap diminta untuk terlibat dalam berbagai forum internasional tentang kebudayaan. Ia adalah salah satu orang yang banyak berperan dalam persiapan World Culture Forum yang dihelat di Bali pada 2013, juga memegang peran penting dalam penyelenggaraan Ubud Writer and Reader Festival, sebuah ajang tahunan bergengsi dalam perbukuan, yang tahun ini dihelat untuk ke-12 kalinya. Di situ ia menjabat sebagai Manager Program Indonesia. Dialah penggagas program yang mempertemukan para penulis sastra yang sudah memiliki nama besar dengan para penulis pendatang baru dalam panel-panel diskusi pada perhelatan akbar itu   guna merajut dialog ideologis, gagasan kebudayaan, dan lain sebagainya.

Juniartha piawai menulis dalam tiga bahasa: Bali, Indonesia, dan Inggris. Bukunya, Bungklang-Bungkling meraih penghargaan Widya Pataka sebagai salah satu buku terbaik berbahasa Bali pada 2011.


Bre Redana 


Bekerja di Harian Kompas sejak tahun 1982. Sepanjang kariernya sebagai wartawan kebanyakan meliput dan menulis bidang kebudayaan. Pernah menjadi Kepala Desk Kompas Minggu. Sekarang menjadi wartawan senior bidang kebudayaan. Pendidikan terakhir: School of Journalism, Darlington College of Technology, UK. Tak kurang dari delapan buku telah ia terbitkan. Buku-buku tersebut terdiri dari kumpulan cerita pendek (Urban Sensation!, Dongeng untuk Seorang Wanita, Sarabande, dan Rex), novel (Blues Merbabu dan 65), serta kumpulan esai dan artikel (Potret Manusia Sebagai si Anak Kebudayaan Massa).  Buku lainnya, Aku Bersilat, Aku Ada dan Dawai-Dawai Dewa Budjana.