Pameran Project 88: Air dalam Simbol

Seorang pengunjung menikmati foto esai "Rekreasi" karya Anggara Mahendra
Orang Bali selalu menginterpretasikan simbol semesta dalam gerak, suara, visual, konsep, filosofi dan ritual dalam kesehariannya. Warna yang dinamis, bentuk persembahan bagaikan instalasi seni yang dikerjakan setiap hari oleh pemujanya yang memiliki kedalaman makna. Semua tampak eksotis hingga dianggap menjadi surga terakhir bagi para pelancong dari negeri lain. Begitu terkenal dan mendunia, melebihi negara asalnya, Indonesia.

Mengutip catatan Cok Sawitri (penulis, seniman, budayawan dan kawan baik) "Potret Bali Masa Kini di ‘Medan Tempur Simbolik’" dengan pertanyaan/ kegelisahannya: "Bagaimana kemudian hamburan hasil jepretan tukang potret di era digital, yang berupaya membawa potret-potretnya itu terbebas dari sekedar membekukan memori pribadi menjadi alat komunikasi yang berdampak luas? Menjadi duta gagasan-gagasan mengenai problem kehidupan yang dihadapi Bali?". Kita cenderung masuk dalam buaian warna-warni Bali, eksotisme visual yang menggoda sehingga lupa untuk bercerita. Sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Apa kita sudah cukup baik mendokumentasikannya?

Air Dalam Perspektif
Di pameran “Air Dalam Simbol”,  saya dan tiga kawan lain (Jeje, Vifick dan Christo) berusaha bercerita tentang air dari perspektif kita masing-masing.

Dengan “Rekreasi” seri foto yang saya kerjakan di pantai Nusa Dua, Bali berusaha bercerita tentang wahana air dan buatan manusia yang menjadi bisnis besar dan utama di Bali. Sehingga bisnis rekreasi menjadi cara mudah dan sah untuk melakukan komodifikasi alam sesuai dengan peminatnya yaitu wisatawan.

Jeje Prima Wardani (pemangku adat) bercerita tentang ritual air pada Dewi Danu (Dewi Air) yang berstana di Danau Batur, danau terbesar di Bali yang menjadi sumber air pada esai “Mengiringi Dewi Danu Jalan-Jalan”. Simbol kesuburan tanah dan pemujaan kepada air dalam ritual ini berbanding terbalik dengan kondisi di sekitar Gunung Batur tempat Dewi Danu berjalan-jalan melakukan inspeksi pada setiap Subak (sistem irigasi air) yang dilewatiNya. Air tidak lagi melimpah seperti dulu, dan banyak permasalahan yang disebabkan oleh manusia berkaitan dengan berubahnya pola hidup kita. Alih fungsi lahan, sampah, pestisida yang mencemari sumber-sumber air dan berkurangnya debit air di mata air. Dalam deskripsinya Jeje menjelaskan bahwa:  “Kita terlalu sibuk menggunakan tapi lupa memelihara air sebagai sumber kehidupan. Mewarisi tradisi air adalah sebuah tanggung jawab, tidak semata-mata dalam upacara yang semarak tapi juga dapat memahami esensinya. Seperti menjaga elemen buana agung (dunia tempat kita tinggal) dan buana alit (diri kita sendiri)”.

Syafiudin Vifick yang pernah menyebut dirinya sebagai visual activist bercerita melalui sampah sebagai simbol peradaban manusia di sumber air dari hulu ke hilir. Ada kesamaan jenis sampah (plastik) yang ditemukan yang menandakan sampah jenis ini sudah masuk ke kehidupan semua orang, tanpa mengenal latar belakang dan lokasinya. Secara fisik, karyanya dicetak 1×1 meter pada bahan mouse pad, ditempel di lantai pada 8 pilar Rumah Sanur Creative Hub. Silahkan menunduk untuk menikmati karyanya, bahkan diinjak karena karya ini memang sampah! Dicetak pula diatas bahan calon sampah.

Fotojurnalis, Johannes P. Christo bercerita tentang analogi habitat mamalia air dan manusia yang terbalik. Lumba-lumba tidak lagi di alam lepas seperti habitatnya dulu, tapi dibuatkan ala-ala konservasi atau taman air untuk menghibur manusia. Christo dengan narasinya mengajak kita manusia untuk mengingat kembali jasa lumba-lumba sebagai saudara tua manusia yang membantu navigasi kapal dan menolong manusia yang hampir tenggelam. Bisa jadi, pengekangan mamalia air yang menjadi hal biasa ini disebabkan oleh media yang menayangkan film mamalia air di wahana air untuk manusia dengan slogan “sahabat manusia”. Tapi kita lupa, sahabat seharusnya tidak mengekang mereka.

Christo menggunakan Diptych: menyandingkan dua foto yang memiliki kesamaan visual untuk memberikan efek ketiga pada pembaca.

Jeje Prima Wardhani memaparkan karyanya
Suasana Pameran
Diskusi lanjutan di sela pameran
Suasana Pameran
Karya Christo di antara ruang besar dan "terbuka" 
Fotografer senior Rio Helmi (kiri) berbincang dengan Vifick (tengah)
Direktur DFF, Agung Bawantara, memperhatikan detil karya
Salah satu foto dalam instalasi "Artefak" karya Syafiudin Vifick
Diskusi membedah karya dipandu oleh Rudolf Dethu

Tentang Project 88 
Project 88 adalah sebuah upaya lebih mendekatkan fotografi dengan film dokumenter. Upaya ini dilatari oleh kerapnya terjadi hambatan pada para peminat pemula yang ingin membuat film dokumenter. Diperlukannya beberapa prasyarat dalam produksi film dokumenter membuat para pemula tak dapat membuat karya dalam langkah yang terstruktur secara benar, khususnya pada produksi pertama mereka. Kerap kali hal ini menjadi pematah semangat yang ampuh bagi para pendatang baru itu.

Berangkat dari kenyataan itu, Denpasar Film Festival mengajak beberapa fotografer muda berbakat di Bali untuk mengatasi kendala itu. Mereka adalah Anggara Mahendra, Johannes P. Christo, Prima Wardani, dan Syafi’udin. Keempatnya adalah fotografer yang karya-karyanya kerap menghiasi halaman berbagai media, juga kerap memenangi penghargaan di bidang fotografi. Dari sinergi tersebut lahirlah konsep Project 88 yakni sebuah esai mengenai sebuah isu, situasi, atau keadaan yang dituturkan dengan delapan alenia naskah (teks) dan delapan foto. Bagi pemula, konsep ini boleh dikata merupakan tahapan langkah yang lebih mudah menuju produksi film dokumenter. Bagi profesional, konsep ini merupakan alternatif bertutur yang memberi ruang yang seimbang antara gambar dan narasi (teks).