'Di Atas Air dan Batu' Film Terbaik DFF 2015


Bowo Leksono (Kanan), saat produksi 'Di Atas Air dan Batu'


FILM dokumenterDi Atas Air dan Batu(DAAB) karya Bowo Leksono (Purbalingga) dinobatkan sebagai film terbaik Denpasar Film Festival (DFF) 2015. Film ini menyisihkan empat film unggulan lainnya yakni Bersama Lupus (Galih Seta Dananjati, Denpasar), Hamemayu Hayuning Bawana(Diyah Verakandhi, Yogyakarta), Kakek Si Pemburu Lebah (Gede Seen, Buleleng), serta Lasem, Balada Kampung Naga (M. Iskandar Tri Gunawan, Yogyakarta). Karenanya berhak membawa pulang trophi hadiah uang tunai sebesar Rp20 juta. Sementara para unggulan masing-masing memperoleh uang tunai sebesar Rp3,5 juta.

Acara penganugerahan pemenang di selenggarakan di Istana Taman Jepun, Tanjung Bungkak, Selasa (18/8),  menghadirkan sejumlah pentas seni dari Dadang “Pohon Tua” Pranoto, Adi Siput, Sanggar Cudamani, Yon Gondrong, dan  Sawung Jabo yang dikemas dengan penampilan kesenian Arja Siki yang kocak oleh Cok Sawitri.

DAAB yang berdurasi 25 Menit 43 Detik ini berkisah tentang Mollo, sebuah wilayah di kaki pegunungan Mutis, Timor, Nusa Tenggara Timur dan  Morodemak, sebuah desa di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.  Hampir seluruh  orang Mollo adalah petani, peternak, dan pekebun secara subsisten dengan bergantung pada air hujan. Sementara orang-orang Morodemak berprofesi sebagai nelayan, petambak, pedagang, buruh, dan petani sawah tadah hujan. Kedua wilayah yang berjauhan letak geografisnya disandingkan dalam film ini untuk membandingkan bagaimana masyarakat di kedua desa tersebut menghargai dan memperlakukan air.

Menurut Dewan Juri yang terdiri dari Slamet Rahardjo Djarot, Dr. Lawrence Blair, Rio Helmi, Prof. I Made Bandem, I Wayan Juniartha, dan Bre Redana, film Di Atas Air dan Batu adalah karya yang paling memiliki narasi yang koheren, perspektif yang menarik, serta titik pijak dan pemihakan yang tegas dibandingkan dengan film-film karya peserta lain yang disertakan dalam DFF tahun ini.

“Bagaimana perjuangan dua kelompok perempuan dalam menghadapi perubahan pola cuaca yang mengancam keberlangsungan ekonomi keluarga dan komunitas mereka memberikan film ini nilai tematik yang lebih unggul dibandingkan film-film peserta lainnya,” kata Slamet Rahardjo Djarot,  selaku Ketua Dewan Juri.

Untuk kategori pelajar, film Danau Buyan Dalam Belitan Gulma karya Lusiana Dewi (SMAN 1 Banjar, Buleleng) terpilih sebagai yang terbaik. Film ini menyisihkan  Airku, Bukan Airku  (Arya Artana & Krisna Adijaya, SMAN 3 Denpasar),  Air Suci Tanah Bali (Ni Putu Ayu Novita Saraswati, SMK 1 Saraswati Denpasar),  Subakku Dipuja Subakku Merana (Arya Artana, SMAN 3 Denpasar), The Essence Of Life: Water (Lawrence Bolton, SMA Dyatmika Denpasar).

Masih Malas
Menurut catatan dewan juri, secara umum kualitas karya-karya yang dinilai pada DFF 2015 ini menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan dengan karya-karya yang dinilai pada DFF 2014. Penurunan paling tampak pada kemampuan para pembuat film dalam menerjemahkan ide-ide serta argumentasi utama mereka ke dalam bahasa visual yang tidak hanya memukau mata tetapi juga meyakinkan pikiran para penontonnya.

“Tampak jelas bahwa adagium “to show and not to tell” belum mampu dijalankan secara baik oleh para pembuat film ini. Akibatnya film-film mereka kemudian lebih banyak didominasi oleh tuturan verbal para narasumber dan bukannya oleh frame-frame gambar yang berkisah,” kata Slamet.

Sejumlah film, memang memiliki estetika visual yang memukau mata. Sayangnya, keindahan visual itu berhenti hanya sebagai rangkaian frame indah tanpa alur cerita yang kuat, bahkan terjebak sebagai sebuah paparan pedagogik yang menutup ruang pemaknaan terhadap sejumlah subyek-subyek sinematik penting yang tampak dalam film.

Bre Redana, salah satu anggota Dewan Juri, menambahkan bahwa kekurang-cakapan teknis terjadi di banyak karya dan ini mencerminkan masalah  mendasar yakni lemahnya gagasan di balik pembuatan film-film tersebut. Pada beberapa peserta, terlihat kesembronoan dalam mengangkat dan mengedepankan masalah. Dari situ bisa terbaca bahwa mereka tidak melakukan riset memadai terhadap subyek garapannya.

“Ada kemalasan menggeluti masalah, yang berarti juga kemalasan berpikir sehingga pada akhirnya, mereka gagal membuat film dokumenter yang mencerminkan pandangan, sikap, statement pembuatnya,” imbuh Bre.

Namun, menurut para Dewan Juri, di luar kekurangan yang harus dianggap sebagai pekerjaan rumah bersama, ada sejumlah hal yang memberikan optimisme yakni selalu munculnya film-film yang berani mengemukakan problem sosial dengan teknik yang tidak biasa, bahkan berkonsekuensi memberi tantangan berat dalam penyuntingannya.

Dalam pidato laporannya Direktur DFF, Agung Bawantara, mengatakan bahwa karya dokumenter yang disertakan pada DFF 2015 berjumlah 66. Karya-karya tersebut berasal dari berbagai daerah di tanah air. Karya-karya terpilah dalam dua kategori yakni Umum dan Pelajar. Jumlah tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Agung juga mengatakan bahwa pada penyelenggaraan yang ke-enam ini  DFF semarak dengan beberapa program yakni pelatihan produksi, pemutaran, dan lomba film dokumenter.  Program lainnya adalah pameran foto esai,  diskusi publik berkait dengan tema festival, dan grant program (program dana hibah produksi) bagi sineas terpilih yang membuat karya dokumenter bertema air dan hubungannya dengan masyarakat di Kota Denpasar.  Adapun dana penyelengaraan festival ini disokong oleh Pemerintah Kota Denpasar dan beberapa donator yang peduli pada pertumbuhan film dokumenter di Indonesia, khususnya di Kota Denpasar (Bali).

Mengenai sokongan pendanaan, Kepala Dinas Kebudayaan Kota Denpasar, Drs.Made Mudra, MSi,mengatakan bahwa pihaknya selalu menyokong kegiatan kreatif yang diprakarsai oleh masyarakat sendiri. Menurut Mudra seperti itulah caranya melakukan pembinaan kesenian di Kota Denpasar.

“Kami hanya menyokong dan mendorong dari belakang. Semua rancangan konsep dan pelaksanaan DFF ini kami serahkan kepada mereka yang memahami masalahnya dan bersedia secara konsiten menjalankan program-programnya,” ucap Mudra.


Film-film Unggulan DFF 2015

Kategori Umum

Bersama Lupus
Sutradara: Galih Seta Dananjati
Produser: Dea Chessa Lana Sari Penata Visual (DOP): Kurniawan Adi Putra
Penyunting (Editor): Agus Sudarmaja
Produksi:  2015
Durasi : 24 menit

Empat wanita berbeda usia berjuang menghadapi penyakit mematikan, Lupus. Mereka berbagi kisah tentang hidup mereka bersama lupus dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi.

Bella dengan usahanya untuk meraih masa depan, Sagung dengan problematika masa remajanya, Pande dengan dilema pekerjaannya, dan Jesi dengan kebersamaannya bersama anak dan suaminya.

Mereka tak mau berputus asa sebab selalu ada hikmah di balik cerita-cerita kehidupan.

Di Atas Air dan Batu
Sutradara: Bowo Leksono
Produser: Dimas Jayasrana
Penata Visual (Dop): Nanki Nirmanto
Penyunting (Editor): Nanki Nirmanto
Produksi: CSF – CJI, 2014
Durasi : 25 Menit 43 Detik

Mollo merupakan wilayah teritori masyarakat di jantung Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. Terletak di kaki pegunungan Mutis.

90 persen orang Mollo adalah petani, peternak, dan pekebun secara subsisten dengan bergantung pada air hujan. Orang Mollo menjadikan alam sebagai panduan hidup.

Desa Morodemak berada di Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Orang-orang Morodemak berprofesi sebagai nelayan, petambak, pedagang, buruh, dan petani sawah tadah hujan. Para istri-istri nelayan menggeluti profesi pasca tangkap, seperti pedagang ikan, pengolah produk-produk ekonomis berbahan baku ikan dan beberapa di antaranya juga nelayan skala kecil.

Hamemayu Hayuning Bawana
Sutradara: Diyah Verakandhi
Produser: Adih Saputra
Penata Visual (DOP): Diyah Verakandhi
Penyunting (Editor): Adih Saputra
Produksi: ADV Production, 2014
Durasi: 20 menit

Kota Yogyakarta berada di antara Gunung Merapi dan Laut Selatan.  Di tengah kota ini terbentang garis imajiner lurus yang menghubungkan Gunung Merapi dan Pantai Parangkusumo. Pada garis imajiner tersebut terdapat sumbu filosofis yang dibangin oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I.

Sumbu-sumbu filosofis tersebut meliputi Panggung Krapyak, Alun-alun Selatan, Kraton, Alun-alun Utara, dan Tugu Yogya. Pada semua sumbu filosofis itu terdapat pemaknaan yang berhubungan dengan keberadaan Gunung Merapi, Yogyakarta, dan Pantai Parangkusumo. Pemaknaan tersebut lebih mengarah pada proses kelahiran manusia hingga perjalanan sucinya menghadap Tuhan Yang Maha Esa berikut godaan duniawi yang terdapat di sepanjang perjalanan tersebut.

Diyakini, jika memahami dan menghayati secara benar filosofi tersebut, semua warga yang hidup di Kota Yogyakarta akan hidup tentram dan sejahtera.


Kakek Si Pemburu Lebah
Sutradara: Gede Seen
Produser: Gede Seen
Penata Visual (DOP): Lusi
Penyunting (Editor): Jordan HDV
Produksi: Komunitas Film Buleleng, 2015
Durasi:  23 menit

Gusti Made Darma, seorang kakek berusia 70 tahun, berprofesi sebagai pemburu lebah untuk menghidupi keluarganya. Profesi ini telah ia geluti sejak anak pertamanya baru berusia Sembilan tahun. Sampai sekarang,  di usianya  yang telah merangkak senja, Darma masih menekuni pekerjaan itu.

Dalam berburu lebah, Darma tak kenal waktu. Ia kerap berburu hingga larut malam, bahkan hingga subuh. Dari hasil berburu lebah ini, Darma mendapat beberapa botol madu asli yang kemudian dijualnya untuk biaya hidup sehari-hari, termasuk biaya bersekolah kedua anaknya.

Sampai kapankah profesi ini akan dilakoninya? Darma sendiri tak tahu. Yang pasti pekerjaan itu telah menjadi bagian dari kehidupan Gusti Made Dharma.


Lasem, Balada Kampung Naga
Sutradara: M. Iskandar Tri Gunawan
Produser: Muzayin Nazarudin, Ali Minanto
Penata Visual (DOP): M. Iskandar Tri Gunawan
Penyunting (Editor): M. Iskandar Tri Gunawan
Produksi: Lab. Komunikasi UII, 2015
Durasi: 22 menit

Lasem, sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, merupakan kota pusaka yang menyimpan sejarah panjang. Lasem memiliki posisi sangat penting dalam berbagai periode sejarah Nusantara. Terdapat sekitar 540 situs sejarah di Lasem yang berasal dari berbagai periode sejarah, mulai dari zaman Singosari, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram Islam, masa kolonial Belanda, hingga era Kemerdekaan.

Salah satu situs penting di Lasem adalah kompleks pemukinan Tionghoa yang dipenuhi bangunan-bangunan tua berarsitektur Cina, yang mulai berdiri sejak tahun 1300-an. Saat ini, pemukiman tua Tionghoa itu berada di Desa Karangturi dan Soditan. Di dua desa itu juga terdapat Klenteng, yaitu Klenteng Cu An Kiong (Soditan) dan Klenteng Poo An Bio (Karangturi). Yang menarik, posisi klenteng tertua di Lasem, Klenteng Cu An Kiong, berada di tengah pesantren-pesantren yang bertebaran di Lasem. Sebaliknya, Masjid Agung Lasem berdiri di kompleks pemukiman Tionghoa Desa Karangturi. Ini menandakan bahwa kerukunan hidup antaragama dan antaretnis di Lasem yang sudah terjadai sangat lama.

Kini, keberadaan cagar budaya bangunan-bangunan Cina ini menghadapi ancaman. Banyak bangunan tua tersebut dibongkar untuk berbagai kepentingan.



Film Unggulan Kategori Pelajar

Airku, Bukan Airku
Sutradara: Krisna Adijaya
Produser: Arya Artana, Krisna Adijaya
Penata Visual (DOP): Hendra Pradiptha
Penyunting (Editor): Krisna Adijaya
Produksi: Madyapadma Journalistic Park, 2015
Durasi : 10 menit

Air menjadi kebutuhan utama dalam kehidupan manusia. Namun dalam penggunaannya,  air kerap menimbulkan banyak konflik. Salah satunya adalah air di Indonesia menjadi ladang bisnis korporasi besar. Rakyat Indonesia menjadi kehilangan air mereka.


Air Suci Tanah Bali
Sutradara: Ni Putu Ayu Novita Saraswati
Produser: Nih Luh Agnes Yoshimi Suganda & Niswatul Ula Falqi
Penata Visual (DOP): Kadek Ayu Tania Widyawati
Penyunting (Editor): I Gusti Ayu Ricka Ratna Putri
Produksi: Teater Takhta SMK Saraswati 1 Denpasar, 2015
Durasi : 10 Menit 12 Detik

Umat Hindu percaya bahwa dengan melukat, mereka bisa membersihkan diri dari hal-hal yang buruk. Mereka juga percaya bahwa dengan melukat segala penyakit bisa membaik. Setiap air dari Tirta Empul memiliki arti sendiri dengan tujuan-tujuan tertentu.


Danau Buyan Dalam Belitan Gulma
Sutradara: Lusiana Dewi
Produser: Lusiana Dewi
Penata Visual (DOP): Adi Wiguna
Penyunting (Editor): Jordan HDV
Produksi: SMAN 1 Banjar, Singaraja, 2015
Durasi: 15 menit

Danau Buyan, satu dari dua danau yang berada di Desa Pancasari, saat ini kondisinya cukup memprihatinkan. Hal itu disebabkan oleh seperlima luas danau ditutupi gulma sehingga mengalami pendangkalan yang cukup hebat. Jika tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin danau akan menjadi seperti sayatan lubang kering yang menganga di tubuh Pulau Bali. Untuk mengatasi hal tersebut seluruh komponen masyarakat di sekitas danau melakukan upaya pembersihan. Hal ini didasari atas kesadaran akan pentingnya sumber air ke depan demi sebuah peradaban anak cucu berikutnya.

Subakku Dipuja Subakku Merana
Sutradara: Arya Artana
Produser: Ari Widiyani
Penata Visual (DOP): Krisna Adijaya
Penyunting (Editor): Krisna Adijaya
Produksi: Madyapadma Journalistic Park, 2014
Durasi : 15 menit

Film ini tentang perjuangan sebuah komunitas subak di wilayah Bali untuk bertahan dari tekanan sektor pariwisata, alih fungsi lahan untuk pemukiman, perkantoran dan industri. Padahal di sisi lain keberadaan subak begitu dikagumi dan dipuji-puji dunia internasional. Bahkan baru-baru telah mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Dunia.


The Essence Of Life: Water
Sutradara: Lawrence Bolton
Produser: Lawrence Bolton
Penata Visual (DOP): Lawrence Bolton
Penyunting (Editor): Lawrence Bolton
Produksi: Lawrence Bolton, 2015
Durasi: 5 menit

Air sangat penting karena merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dalam kehidupan. Air  membantu makhluk hidup untuk tumbuh dan berkembang. Tanpa air, aktivitas kehidupan akan berhenti.

Film Dokumenter ini secara keseluruhan mengajarkan kita betapa pentingnya air bisa untuk kita dan bagaimana jika kita menyalahgunakan air yang kita mungkin saja mengakibatkan semua peradaban akan berlenti dan hilang.***