Film Dokumenter yang dihasilkan menjadi milik kandidat bersangkutan dengan tetap menyertakan logo Denpasar Film Festival (DFF) dan logo perusahaan atau lembaga penyandang dana hibah.
Film Dokumenter hasil program ini diputar dan diperbincangkan secara khusus dalam rangkaian acara Denpasar Film Festival 2016 dan diupayakan untuk ikut serta dalam festival-festival film dokumenter penting di seluruh dunia.
Pemenang Grant DFF 2016 adalah: Dwitra J. Ariana
Petani Terakhir
proposal
film dokumenter oleh:
Dwitra
J. Ariana
Figure 1: Sutama di sawahnya
.
Film Statement:
Film
ini akan bercerita tentang Nyoman Sutama, sebagai ketua munduk dalam
memperjuangkan keberlangsungan pertanian di wilayah yang dipimpinnya.
Sinopsis:
Nyoman
Sutama, laki-laki, 40 tahun, petani termuda sekaligus pengurus Subak Celuk,
Munduk Lungatad di Kota Denpasar, berjuang keras mempertahankan pertanian di
wilayahnya. Tidak ada lagi anak muda yang mau bertani. Semakin hari semakin
sedikit jumlah anggotanya. Lahan persawahan telah beralih fungsi menjadi
perumahan. Semakin banyak pula petani yang sudah tidak mengerjakan sawahnya
sendiri karena telah dijual kepada investor. Saluran airnya banyak yang putus
dan dicemari sampah plastik. Biaya produksi pertanian semakin tinggi namun
jarang sekali menemui harga gabah yang bagus. Biaya hidup semakin tinggi,
anak-anaknya semakin menuntut biaya sekolah, investor semakin gencar menawar
tanahnya dan dia tidak memiliki anak laki-laki. Sutama sadar, pertanian sulit dipertahankan
selamanya, namun tetap bertekad akan bertani semampunya dan meyakinkan
rekan-rekannya agar tetap bertani.
Latar
Belakang:
Tiga bulan yang lalu, Nyoman
Sutama, laki-laki, 40 tahun, di-PHK dari pekerjaannya sebagai engineer di Patal
Tohpati. Setelah itu dia memutuskan untuk mengerjakan sepenuhnya sawah
warisannya sendiri. Sebelumnya separuh dikerjakan oleh orang lain secara bagi
hasil. Sejak dulu Sutama memang berkomitmen tidak akan menjual sawahnya walau saudara
dan tetangganya telah banyak yang melakukannya.
Beberapa waktu lagi, Sutama akan
terpilih sebagai ketua Munduk Lungatad, Subak Celuk, Denpasar Utara. Sutama
adalah anggota termuda dan terbaru yang belum pernah menjabat sebagai ketua.
Ketua munduk dijabat secara bergiliran, karena Sutama belum pernah menjabat,
dia berani memastikan dirinya akan terpilih pada periode yang akan datang.
Sudah pasti Sutama akan
berhadapan dengan masalah semakin hari semakin sedikit jumlah anggota
organisasinya. Hari ini masih 21 orang anggota, hampir semua adalah orang-orang
yang seharusnya sudah menjelang atau memasuki masa pensiun. Tidak ada lagi anak
muda yang mau turun ke sawah. Bahkan sebagian dari mereka sudah tidak menggarap
sawahnya sendiri karena dulu sudah dijual tetapi masih diizinkan untuk
menggarap oleh pemiliknya yang baru.
Pengalihfungsian lahan juga
berjalan sangat cepat. Sejak tidak diberlakukan dengan tegas lagi jalur hijau.
Jika dulu setiap bangunan beton yang berada di wilayah subaknya pasti
dibongkar. Sekarang tidak, padahal
hingga kini masih termasuk kawasan jalur hijau.
Sehingga bangunan-bangunan semakin menjamur, sebagian masih berupa
urukan-urukan batu kapur yang siap dikavling.
Semakin banyaknya perumahan
berdampak pula pada saluran irigasi yang akhirnya banyak tertutup atau paling
tidak dibelokkan. Perilaku buruk penduduk yang membuang sampah, terutama sampah
plastik sembarangan ke saluran irigasi juga memperberat kerja para petani.
Ditambah lagi permasalahan
umum petani seperti gabah yang tetap murah walau harga beras selalu naik,
modernisasi pertanian yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi petani.
Pemerintah memberi sumbangan traktor sehingga tidak ada lagi petani yang
memelihara sapi untuk membajak. Sehingga tidak ada lagi pupuk kandang, semua
pupuk kimia. Tanaman pun semakin tidak kebal hama. Semakin hari dosis pupuk dan
obat selalu harus ditambah sehingga biaya pun selalu bertambah.
Sutama sadar, pesatnya
pembangunan dan modernisasi Kota Denpasar tidak akan bisa mempertahankan pertanian
selamanya. Sutama juga dihadapkan pada masalah internal dari dirinya sendiri,
yaitu dia tidak memiliki anak laki-laki yang akan meneruskan tradisi
keluarganya sebagai petani. Tahun ajaran nanti anaknya akan SMA, sudah pasti
biaya hidup keluarganya akan semakin besar. Sempat dia berangan-angan akan
mengontrakkan tanahnya atau meminjam kredit di bank untuk membangun rumah
kos-kosan. Tapi komitmennya, akan berusaha tetap bertani semampunya dan
pastinya tanahnya tidak akan dijual. Walau sudah ada yang menawar 250 juta/are.
Kompleksitas kehidupan Sutama
tersebut diatas pastinya menarik untuk dijadikan film dokumenter.
Catatan
tentang subjek:
Nyoman Sutama, orangnya
sangat ramah, bersemangat, senang dan pandai bercerita. Setiap diajak
mengobrol, baik langsung ditemui ataupun melalui telepon tidak pernah menunjukkan
sikap terganggu dan yang terpenting dia siap menjadi subjek film dokumenter.
Bentuk
Dokumenter: Reflexive/Cinéma
Vérité
Seandainya proposal ini disetujui untuk
diproduksi maka filmmaker akan merekam kehidupan subjek setidaknya selama satu
tahun. Untuk mendapatkan cerita yang lengkap dan mendalam melalui gambar.
Tentang
Reflexive/ Cinéma Vérité:
Berbeda dengan kaum observer yang cenderung
tidak mau melakukan intervensi dan cenderung menunggu krisis terjadi, kalangan
cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan menggunakan kamera
sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat film
cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak
terduga.
Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.
Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan. (Chandra Tanzil : InDocs)
Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.
Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan. (Chandra Tanzil : InDocs)
Figure 3: Filmmaker bersama subjek.