Program Bantuan Dana Produksi (Grant Program) DFF 2015

Denpasar Film Festival (DFF) mengupayakan sebuah hibah dana produksi kepada pembuat film dokumenter terpilih untuk membuat film dokumenter bertema Air dan Paradaban.  Penerima hibah (grant) dipilih berdasarkan konsep yang diajukan kepada panitia. Kandidat terpilih mendapatkan dana produksi sebesar Rp. 25 juta dan supervisi dari Slamet Rahardjo, Rio Helmi, Lawrence Blair,  Wayan Juniartha, dan Tonny Trimarsanto.

Film Dokumenter yang dihasilkan menjadi milik kandidat bersangkutan dengan tetap menyertakan logo Denpasar Film Festival (DFF) dan logo perusahaan atau lembaga penyandang dana hibah.

Film Dokumenter hasil program ini  diputar dan diperbincangkan secara khusus dalam rangkaian acara Denpasar Film Festival 2016 dan diupayakan untuk ikut serta dalam festival-festival film dokumenter penting di seluruh dunia.

Pemenang Grant DFF 2016 adalah: Dwitra J. Ariana

Petani Terakhir
proposal film dokumenter oleh:
Dwitra J. Ariana

Figure 1: Sutama di sawahnya
.

Film Statement:
Film ini akan bercerita tentang Nyoman Sutama, sebagai ketua munduk dalam memperjuangkan keberlangsungan pertanian di wilayah yang dipimpinnya.

Sinopsis:
Nyoman Sutama, laki-laki, 40 tahun, petani termuda sekaligus pengurus Subak Celuk, Munduk Lungatad di Kota Denpasar, berjuang keras mempertahankan pertanian di wilayahnya. Tidak ada lagi anak muda yang mau bertani. Semakin hari semakin sedikit jumlah anggotanya. Lahan persawahan telah beralih fungsi menjadi perumahan. Semakin banyak pula petani yang sudah tidak mengerjakan sawahnya sendiri karena telah dijual kepada investor. Saluran airnya banyak yang putus dan dicemari sampah plastik. Biaya produksi pertanian semakin tinggi namun jarang sekali menemui harga gabah yang bagus. Biaya hidup semakin tinggi, anak-anaknya semakin menuntut biaya sekolah, investor semakin gencar menawar tanahnya dan dia tidak memiliki anak laki-laki.  Sutama sadar, pertanian sulit dipertahankan selamanya, namun tetap bertekad akan bertani semampunya dan meyakinkan rekan-rekannya agar tetap bertani.


Latar Belakang:
Tiga bulan yang lalu, Nyoman Sutama, laki-laki, 40 tahun, di-PHK dari pekerjaannya sebagai engineer di Patal Tohpati. Setelah itu dia memutuskan untuk mengerjakan sepenuhnya sawah warisannya sendiri. Sebelumnya separuh dikerjakan oleh orang lain secara bagi hasil. Sejak dulu Sutama memang berkomitmen tidak akan menjual sawahnya walau saudara dan tetangganya telah banyak yang melakukannya.
Beberapa waktu lagi, Sutama akan terpilih sebagai ketua Munduk Lungatad, Subak Celuk, Denpasar Utara. Sutama adalah anggota termuda dan terbaru yang belum pernah menjabat sebagai ketua. Ketua munduk dijabat secara bergiliran, karena Sutama belum pernah menjabat, dia berani memastikan dirinya akan terpilih pada periode yang akan datang.
Sudah pasti Sutama akan berhadapan dengan masalah semakin hari semakin sedikit jumlah anggota organisasinya. Hari ini masih 21 orang anggota, hampir semua adalah orang-orang yang seharusnya sudah menjelang atau memasuki masa pensiun. Tidak ada lagi anak muda yang mau turun ke sawah. Bahkan sebagian dari mereka sudah tidak menggarap sawahnya sendiri karena dulu sudah dijual tetapi masih diizinkan untuk menggarap oleh pemiliknya yang baru.
Pengalihfungsian lahan juga berjalan sangat cepat. Sejak tidak diberlakukan dengan tegas lagi jalur hijau. Jika dulu setiap bangunan beton yang berada di wilayah subaknya pasti dibongkar.  Sekarang tidak, padahal hingga kini masih termasuk kawasan jalur hijau.  Sehingga bangunan-bangunan semakin menjamur, sebagian masih berupa urukan-urukan batu kapur yang siap dikavling.
Semakin banyaknya perumahan berdampak pula pada saluran irigasi yang akhirnya banyak tertutup atau paling tidak dibelokkan. Perilaku buruk penduduk yang membuang sampah, terutama sampah plastik sembarangan ke saluran irigasi juga memperberat kerja para petani.
Ditambah lagi permasalahan umum petani seperti gabah yang tetap murah walau harga beras selalu naik, modernisasi pertanian yang berdampak pada meningkatnya biaya produksi petani. Pemerintah memberi sumbangan traktor sehingga tidak ada lagi petani yang memelihara sapi untuk membajak. Sehingga tidak ada lagi pupuk kandang, semua pupuk kimia. Tanaman pun semakin tidak kebal hama. Semakin hari dosis pupuk dan obat selalu harus ditambah sehingga biaya pun selalu bertambah.
Sutama sadar, pesatnya pembangunan dan modernisasi Kota Denpasar tidak akan bisa mempertahankan pertanian selamanya. Sutama juga dihadapkan pada masalah internal dari dirinya sendiri, yaitu dia tidak memiliki anak laki-laki yang akan meneruskan tradisi keluarganya sebagai petani. Tahun ajaran nanti anaknya akan SMA, sudah pasti biaya hidup keluarganya akan semakin besar. Sempat dia berangan-angan akan mengontrakkan tanahnya atau meminjam kredit di bank untuk membangun rumah kos-kosan. Tapi komitmennya, akan berusaha tetap bertani semampunya dan pastinya tanahnya tidak akan dijual. Walau sudah ada yang menawar 250 juta/are.
Kompleksitas kehidupan Sutama tersebut diatas pastinya menarik untuk dijadikan film dokumenter.

Catatan tentang subjek:

     
Figure 2: Nyoman Sutama.

Nyoman Sutama, orangnya sangat ramah, bersemangat, senang dan pandai bercerita. Setiap diajak mengobrol, baik langsung ditemui ataupun melalui telepon tidak pernah menunjukkan sikap terganggu dan yang terpenting dia siap menjadi subjek film dokumenter.

Bentuk Dokumenter: Reflexive/Cinéma Vérité
            Seandainya proposal ini disetujui untuk diproduksi maka filmmaker akan merekam kehidupan subjek setidaknya selama satu tahun. Untuk mendapatkan cerita yang lengkap dan mendalam melalui gambar.



Tentang Reflexive/ Cinéma Vérité:
Berbeda dengan kaum observer yang cenderung tidak mau melakukan intervensi dan cenderung menunggu krisis terjadi, kalangan cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat film cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak terduga.

Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.

Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan. (Chandra Tanzil : InDocs)

IMG_6804.JPG
Figure 3: Filmmaker bersama subjek.